The Lovely Bones: Pengalaman Melihat Akhirat Yang Menyentuh

| Wednesday, April 14, 2010

Jakarta - "Nama saya Salmon, seperti nama Ikan. Nama depan: Susie. Saya 14 tahun saat dibunuh pada 6 Desember 1973. Saya tidak hilang. Saya hidup di duniaku sendiri yang sempurna. Tapi, di hatiku, aku tahu dunia itu tidak sempurna. Pembunuhku masih menghantuiku. Ayahku tak mampu mengatasinya. Aku menunggu keadilan, tapi keadilan belum juga tiba."

Inilah salah satu dialog pembuka film The Lovely Bones, karya terbaru Peter Jackson yang adalah adaptasi dari novel karya Alice Sebold. Peter Jackson yang gila CGI, khususnya sejak The Frighteners, menciptakan sendiri dunia fantasi antara kehidupan dan kematian. Sutradara Bad Taste, The Lord of the Ring dan King Kong itu adalah salah satu rajanya menciptakan semesta fiksinya sendiri dengan segala aturannya.

Dari awal kita sudah dijelaskan bahwa sang tokoh utama, Susie Salmon (diperankan oleh Saoirse Ronan yang sebelumnya sukses lewat Atonement), wafat. Dan ketika Susie 'menjebakkan diri' di dunia antara dan enggan ke surga, kita disuguhi pemandangan penyedap mata.

Mata penonton dimanja oleh keindahan lanskap dunia alam barzakh–dunia antara bumi dan langit, antara dunia dan akhirat. Dan adegan-adegan di dunia fantasi dan dunia nyata itu saling berpagut, berselang-seling, dengan aturannya sendiri. Lihat bagaimana ilalang cokelat berubah menjadi samudera, dengan Susie ada di tengah, di dalam pendopo. Atau kapal-kapal mini di dalam botol yang dipecahkan sang ayah menjadi kapal-kapal raksasa yang terdampar di pulau terpencil—persis seperti lirik lagu 'Message in the Bottle' dari The Police.

Film ini seolah mengingatkan kembali pada awal mula sinema tercipta: the magic of motion picture. Kala itu, film dianggap sebagai sihir yang memukau dan membuka segala kemungkinan imajinasi.

Dari awal sudah dijelaskan bahwa sang tokoh utama kita akan dibunuh oleh tetangganya. Tapi bukan itu inti permasalahannya. Ini bukan spoiler, karena ketegangan tidak berasal dari situ. Ini bukan semata film misteri mencari pembunuhnya, atau tentang nilai-nilai keluarga, tapi lebih kepada pengalaman menonton dan bagaimana pemirsa hanyut dalam cerita.

Salah satu keungulannya adalah film ini menyentuh tombol-tombol emosi. Penonton terbawa oleh cerita, ikut merasakan perasaan. Silakan lihat bagaimana Salmon yang naksir kakak kelasnya, Ray Singh (Reece Ritchie), tiba-tiba ditegur dan bahkan diajak berkencan oleh pujaannya itu.

Ketegangan lain, misalnya kala ia bertemu dengan pembunuh yang adalah tetangganya yang kesepian. Sang pembunuh, George Harvey, diperankan oleh Stanley Tucci dan mendapat banyak pujian dan penghargaan. Sedangkan Saoirse sebagai Susie juga tidak kalah aktingnya. Kabarnya, saat Saoirse mengirimkan rekaman audisinya, pihak produser sangat terkesan hingga mereka langsung memberikannya peran utama, tanpa harus ada rapat atau audisi lagi. Satu tokoh lagi yang menarik adalah Susan Sarandon yang memerankan Nenek Lynn.

Dan film ini tidak terjebak pada formula setan gentayangan atau roh yang membalas dendam. Satu lagi, ada semacam kegilaan Jackson pada hal-hal mini (replika kapal dalam botol, rumah boneka), mungkinkah akibat pengaruh menggarap Hobbit? Banyak sekali yang mengkritik pedas film ini, tapi saya agak berbeda.

Ekplorasi imaginasi yang menyentuh emosi. Apa lagi yang diharapkan dari sebuah pengalaman sinematis asyik selain itu? Apalagi bagi Anda yang percaya akhirat yang katanya belum pernah dilihat, didengar, oleh manusia, itu memang ada.


"Nama saya Salmon, seperti nama ikan. Nama depan: Susie. Saya 14 tahun ketika dibunuh pada 6 Desember 1973. Saya di sini untuk sementara, kemudian saya pergi. Saya berharap kalian semua menjalani kehidupan yang panjang dan bahagia."

0 comments:

Post a Comment